Pamong PAUD di Simpang Jalan
Hamemayu – Pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin
oleh UUD 1945 pasal 31 Untuk menjalankan amanat tersebut, pemerintah
Indonesia membuat sistem pendidikan nasional yang tertuang dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa sistem pendidikan nasional
harus menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta
relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa
masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat
tidak terbatas dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, namun
juga dalam penyelenggaraan pendidikan, temasuk pendidikan jalur
nonformal. Sistem pendidikan di Indonesia mengenal 3 jenis jalur
pendidikan yaitu jalur formal, nonformal dan informal. Pendidikan jalur
nonformal dikuatkan oleh pasal 13. Pendidikan nonformal diselenggarakan
bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi
sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam
rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Salah satu bentuk
pendidikan nonformal adalah pendidikan anak usia dini.
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan jalur nonformal yang
tersurat dalam pasal 26 ayat 3 dan pasal 28 Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003. Di Indonesia, pendidikan anak usia dini jalur nonformal
diselenggarakan oleh masyarakat dan berkembang signifikan karena
kebijakan PAUDisasi pada tahun 2011. Kebijakan pemerintah pusat telah
menggelorakan semangat masyarakat untuk mengembangkan pendidikan anak
usia dini jalur nonformal.
Pernyataan diatas di dukung oleh data nasional bidang pengembangan
PAUD pada tahun 2004 jumlah APK-PAUD sebesar 12,7 juta (27%) dan tahun
2008 APK-PAUD telah mencapai 15,1 juta (50,6%). Dilihat dari penyebaran
jumlah peserta PAUD di Indonesia secara kuantitatif nominal memang
dipengaruhi oleh jumlah penduduk di setiap provinsi, artinya makin
besar jumlah penduduk suatu provinsi semakin besar jumlah anak yang
mengikuti PAUD.
Namun jika dilihat dari penyebaran porsentase
penyebaran peserta ukuran tersebut bukan hanya statistik jumlah
penduduk namun juga dipengaruhi oleh tingkat kesadaran tentang
pentingnya PAUD masyarakat di provinsi tersebut. Dari data dibawah ini
memperlihatkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam dengan jumlah sebaran peserta didik usia 0-6
tahunsekitar 356.917 dan 580.676 lebih rendah dibanding penduduk di
provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, ternyata memiliki
persentase APK AUD yang mengikuti program PAUD lebih besar lebih besar
yaitu 81,78% dan 90,04% (Kemendiknas, 2013).
Data tahun 2008 tersebut menunjukan untuk wilayah DIY perkembangan
PAUD jauh melebihi angka partisipasi kasar nasional sebesar 50,6
persen. Disimpulkan dari data tersebut perkembangan di DIY sangat baik
(Disdikpora.2013). Di Kabupaten Sleman, tidak jarang 1 desa lebih dari
1 PAUD. Pernyataan tersebut terbukti dari data lapangan di kelurahan
Purwomartani kecamatan Kalasan ditemukan 1 desa dengan 12 lembaga PAUD
Nonformal, 7 lembaga TPA dan 5 KB.
Fenomena tersebut ditemukan juga di
wilayah kecamatan lain seperti kecamatan Depok, Ngaglik dan Sleman
(Balitbang Himpaudi Sleman, 2013)
Berdasarkan data diatas kecukupan program pemerintah 1 desa 1 paud
secara kuantitas dan penyerapan anak didik sudah terlampaui. Menurut
Kepala Dinas Dikpora DIY Kadarmanata Baskara, fokus selanjutnya adalah
peningkatan kualitas lembaga pendidikan PAUD yang sudah ada bukan
sekedar pencapaian angka APK (Rakornas PAUD, 2013). Peningkatan
kualitas lembaga PAUD di DIY masih terkendala banyak hal termasuk
kompetensi guru, kurikulum tidak sesuai dengan perkembangan anak dan
terbatasnya sarana dan prasana PAUD. Tidak jarang, lembaga PAUD
Nonformal didirikan oleh masyarakat secara personal dengan keterbatasan
sarana dan prasarana.
Kendala utama dari menamurnya PAUD adalah kurangnya kualitas Pamong
PAUD seperti yang tertulis dalam FGD di Bapeda Sleman 8 Juli 2013.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh bapeda dengan sampel 30 lembaga
PAUD terlihat 4,4 % guru PAUD masih berpendidikan SMP, meskipun data
ini mungkin masih bisa diperhitungkan dengan sampel. Baskoro Aji
Kadarmanta, Kepala Dinas Dikpora DIY dalam rakor bidang PAUD di Hotel
Sahid Raya beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa kualitas pamong paud
memang masih sangat rendah di sebabkan oleh bervariasinya pendidikan
pamong PAUD.
Data tersebut hanya sebagian data yang menyebutkan bahwa pendidik
PAUD jalur nonformal jauh dibawah standaarisasi. Berbasiskan data, maka
pemerintah melalui permediknas no 58 tahun 2009 menetapkan kompetensi
profesional yang harus dimiliki guru PAUD yaitu untuk guru utama setara
dengan S1 psikologi atau S1 PAUD, guru pendamping SMA serta diimbangi
dengan berbagai pelatihan dan pengasuh untuk TPA minimal SMA.
Pemerintah melalui Dirjen PAUDNI juga mengeluarkan kebijakan Diklat
PAUD berjenjang dari tingkat dasar sampai lanjut secara mandiri dengan
melibatkan mitra-mitra terkait.
Di lapangan banyak sekali guru PAUD yang menyambut dengan degap
gempita. Dimulailah perjalanan sekolah kembali melalui jalur pendidikan
S1 di Universitas Terbuka dan pelatihan yang dikoordinir oleh lembaga
mitra pemerintah selalu sesak di ikuti oleh pendidik PAUD terutama
pendidik PAUD jalur nonformal.
Hebatnya pula, semua peningkatan
kualitas kompetensi ini dilakukan secara mandiri oleh guru PAUD.
Mandiri dalam arti kata dibiayai secara pribadi. Mereka mungkin
berharap banyak tentang masa depan dari proses pendidikan tersebut.
Ironis memang, saat gegap gempita tersebut berbanding terbalik dengan
jumlah kesejahteraan yang mereka terima baik dari lembaga mereka
bernaung maupun dari pemerintah sendiri, lebih ironis, saat gegap
gempita tersebut hanya berujung pada suatu ketidakpastian hukum
keberadaan pendidik PAUD nonformal.
Secara keseluruhan honor guru PAUD masih relatif kecil, sangat jauh
dari bilangan sejahtera. Guru PAUD jalur pendidikan nonformal memang
bukan sebuah pilihan untuk mensandarkan kesejahteraan hidup, karena
masih terlalu banyak pengabdian di sana. Kisaran honor yang mereka
terima untuk PAUD nonformal di kabupaten Sleman sekitar 100-600 ribu
rupiah dengan jenjang lama kerja dan jam bekerja dalam sehari. Bahkan
di beberapa tempat mereka tidak dibayar, misalnya pendidik unsur SPS
dan KB di pelosok desa.
Hal tersebut belum termasuk payung hukum keberadaan pendidik PAUD
nonformal yang sama sekali tidak jelas. Dimulai dari kontroversi antar
pasal di Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 terutama antar pasal 26 ayat
3, pasal 28 ayat 2, dan pasal 14. Berdasarkan Pasal 26 ayat (3)
berdasarkan ayat tersebut pendidikan anak usia dini (PAUD) termasuk
pada salah satu jenis pendidikan nonformal. Namun demikian menurut
pasal 28 ayat (2) disebutkan bahwa pendidikan anak usia dini dapat
diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau
informal.
Sementara itu pada pasal 14 diatur bahwa jenjang pendidikan
formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Berdasarkan pasal tersebut, pendidikan anak usia
dini tidak termasuk dalam jenjang pendidikan formal. Seperti diketahui
bahwa pendidikan dasar terdiri dari satuan sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama, tidak termasuk TK/RA.
Undang-undang berkonflik ini menjadi dasar seluruh kebijakan tentang
guru PAUD di Indonesia. Kebijakan yang kemudian seolah-olah mengatakan
guru PAUD nonformal bukanlah guru yang termaktub dalam UU nomor 14
tahun 2007 tentang guru. Dengan asumsi tersebut terjadilah perbedaan
perlakuan di lapangan antara guru PAUD nonformal dan guru PAUD formal.
Dimulai dari akses sertifikasi dan biaya bantuan sekolah S!,
perbaharuan data NUPTK di web padamu negri yang tidak memberikan ruang
bagi pendidik PAUD jalur nonformal untuk mengakses data tersebut,
kemudian adanya wacana NIPTK untuk jalur nonformal yang segala
sesuatunya masih samar dan kemudian terbitlah Permedikbud terbaru no 81
tahun 2013 yang membuat PAUD tidak berdiri sendiri sebagai bagian dari
PNF, namun merupakan bentuk layanan dari salah satu satuan PNF.
Dampak dari kebijakan program PAUDnisasi adalah menjamurnya lembaga
pendidikan PAUD terserapnya tenaga kerja yaitu pendidik PAUD,
semestinya terkawal juga dengan perhatian terhadap ribuan pendidik ini.
PAUD jalur nonformal semakin tidak jelas, dan masa depan pendidik PAUD
juga semakin tidak jelas, baik berdasarkan status hukum pekerjaan
maupun kelembagaan. Sebuah ironi, yang ingin menghadiahkan generasi
emas di Indonesia Emas.